Rabu, 28 Februari 2018

Kebijakan Pemerintah Kolonial dan Pengaruhnya di Indonesia Bag. 3


3. Kebijakan Pemerintah Kerajaan Belanda (Republik Bataafsche)

Daendels, gubernur jenderal yang bertangan besi

Kebijakan pemerintah Kerajaan Belanda yang dikendalikan oleh Prancis sangat kentara pada masa Gubernur Jenderal Daendels (1808 – 1811). Kebijakan yang diambil Daendels sangat berkaitan dengan tugas utamanya yaitu untuk mempertahankan Pulau Jawa dari serangan pasukan Inggris.

Dalam upaya mempertahankan Pulau Jawa, Daendels melakukan hal-hal berikut.

a. Membangun ketentaraan, pendirian tangsi-tangsi/ benteng, pabrik mesiu/senjata di Semarang dan Surabaya serta rumah sakit tentara.
b. Membuat jalan pos dari Anyer sampai Panarukan dengan panjang sekitar 1.000 km.
c. Membangun pelabuhan di Anyer dan Ujung Kulon untuk kepentingan perang.
d. Memberlakukan kerja rodi atau kerja paksa untuk membangun pangkalan tentara.

Peta Jalan Anyer - Panarukan yang dibuat oleh Daendels.


Berikut ini kebijakan-kebijakan yang diberlakukan Daendels terhadap kehidupan rakyat.
a. Semua pegawai pemerintah menerima gaji tetap dan mereka dilarang melakukan kegiatan perdagangan.
b. Melarang penyewaan desa, kecuali untuk memproduksi gula, garam, dan sarang burung.
c. Melaksanakan contingenten yaitu pajak dengan penyerahan hasil bumi.
d. Menetapkan verplichte leverantie, kewajiban menjual hasil bumi hanya kepada pemerintah
dengan harga yang telah ditetapkan.
e. Menerapkan sistem kerja paksa (rodi) dan membangun ketentaraan dengan melatih  Orang orang pribumi.
f. Membangun jalan pos dari Anyer sampai Panarukan sebagai dasar pertimbangan pertahanan.
g. Membangun pelabuhan-pelabuhan dan membuat kapal perang berukuran kecil.
h. Melakukan penjualan tanah rakyat kepada pihak swasta (asing).
i. Mewajibkan Prianger stelsel, yaitu kewajiban rakyat Priangan

Dalam melaksanakan pemerintahannya di Indonesia, Daendels memberantas sistem feodal yang sangat diperkuat VOC. Untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan, hak-hak bupati mulai dibatasi terutama yang menyangkut penguasaan tanah dan pemakaian tenaga rakyat.
Selama memerintah, Daendels dikenal sebagai gubernur jenderal yang “bertangan besi”. Ia memerintah dengan menerapkan disiplin tinggi, keras, dan kejam. Bagi rakyat atau penguasa lokal yang ketahuan membangkang, Daendels tidak segan-segan member hukuman.
Hal ini dapat dibuktikan saat Daendels menjalankan kerja rodi untuk membangun jalan raya Anyer - Panarukan sepanjang 1.000 km. Dalam pembangunan tersebut, rakyat dipaksa kerja keras tanpa diberi upah atau makanan, dan apabila rakyat ketahuan melarikan diri akan ditangkap dan disiksa. Rakyat sangat menderita.
Pengaruh kebijakan pemerintah kerajaan yang diterapkan oleh Daendels sangat berbekas dibanding penggantinya, Gubernur Jenderal Janssens yang lemah. Langkah-langkah kebijakan Daendels yang memeras dan menindas rakyat menimbulkan:
a. kebencian yang mendalam baik dari kalangan penguasa daerah maupun rakyat,
b. munculnya tanah-tanah partikelir yang dikelola oleh pengusaha swasta,
c. pertentangan/perlawanan penguasa maupun rakyat,
d. kemiskinan dan penderitaan yang berkepanjangan, serta
e. pencopotan Daendels.



Kaisar Napoleon


Pada tahun 1810, Kaisar Napoleon menganggap bahwa tindakan Daendels sangat otoriter. Pada tahun 1811 Daendels ia ditarik kembali ke negeri Belanda dan digantikan oleh Gubernur Jenderal Janssens.


Janssens


Ternyata Janssens tidak secakap dan sekuat Daendels dalam melaksanakan tugasnya. Ketika Inggris menyerang Pulau Jawa, ia menyerah dan harus menandatangani perjanjian di Tuntang pada tanggal 17 September 1811.
Perjanjian tersebut dikenal dengan nama Kapitulasi Tuntang, yang berisi sebagai berikut.
a. Seluruh militer Belanda yang berada di wilayah Asia Timur harus diserahkan kepada Inggris dan menjadi tawanan militer Inggris.
b. Hutang pemerintah Belanda tidak diakui oleh Inggris.

c. Pulau Jawa dan Madura serta semua pelabuhan Belanda di luar Jawa menjadi daerah kekuasaan Inggris (EIC).

Sumber : IPS SMP - Sanusi Fatah

Selasa, 27 Februari 2018

Kebijakan Pemerintah Kolonial dan Pengaruhnya di Indonesia. Bag. 2


2. Kebijakan VOC


Salah satu kunci keberhasilan VOC adalah sifatnya yang mudah beradaptasi dengan kondisi yang ada di sekitarnya. Kebijakannya dapat dikatakan kelanjutan atau tiruan dari sistem yang telah dilakukan oleh para penguasa lokal. VOC secara cerdik menggunakan lembaga dan aturan-aturan yang telah ada di dalam masyarakat lokal untuk menjalankan roda compagnienya. VOC hanya menjalin hubungan dengan golongan raja atau bangsawan, dan merasa cukup setelah raja dan bangsawan tunduk kepada mereka.
VOC beranggapan tidak ada gunanya bekerja sama dengan rakyat karena jika rajanya sudah tunduk, maka rakyatnya akan tunduk pula.
Untuk mengisi kasnya yang kosong, VOC menerapkan sejumlah kebijakan seperti hak monopoli, penyerahan wajib, penanaman wajib, dan tenaga kerja wajib yang sebenarnya

Pieter Both,gubernur jenderal VOC yang pertama.
telah menjadi bagian  dari struktur dan kultur yang telah ada sebelumnya. Penyerahan wajib (Verplichte Leverantie) mewajibkan rakyat Indonesia di tiaptiap daerah untuk menyerahkan hasil bumi berupa lada, kayu, beras, kapas, kapas, nila, dan gula kepada VOC.
Dalam upaya memperlancar aktivitas organisasi, pada tahun 1610 VOC memutuskan untuk membentuk jabatan Gubernur Jenderal yang pada waktu itu berkedudukan di Maluku. Pieter Both orang pertama yang menduduki posisi itu.
VOC dibentuk pada tanggal 20 Maret 1602 oleh van Oldenbarnevelt. VOC dibentuk dengan tujuan untuk menghindari persaingan di antara perusahaan dagang Belanda dan memperkuat diri agar dapat bersaing dengan perusahaan dagang negara lain, seperti Portugis dan Inggris. Oleh pemerintah Kerajaan Belanda, VOC diberi hak-hak istimewa yang dikenal dengan nama hak oktroi, seperti:
a. hak monopoli,
b. hak untuk membuat uang,
c. hak untuk mendirikan benteng,
d. hak untuk melaksanakan perjanjian dengan kerajaan di Indonesia, dan
f. hak untuk membentuk tentara.
Dengan adanya hak oktroi tersebut, bangsa Indonesia mengalami kerugian dan penderitaan. Tindakan VOC sangat sewenang-wenang dan tidak memerhatikan kepentingan rakyat Indonesia.
Untuk menguasai perdagangan rempah-rempah, VOC menerapkan hak monopoli, menguasai pelabuhan-pelabuhan penting dan membangun benteng-benteng. Benteng-benteng yang dibangun VOC antara lain:
a. di Banten disebut benteng Kota Intan (Fort Speelwijk),
b. di Ambon disebut benteng Victoria,
c. di Makassar disebut benteng Rotterdam,
d. di Ternate disebut benteng Orange, dan
e. di Banda disebut benteng Nasao.

J.P . Coen, gubernur jenderal VOC tahun 1617.

Dengan keunggulan senjata, serta memanfaatkan konflik di antara penguasa lokal (kerajaan), VOC berhasil memonopoli perdagangan pala dan cengkih di Maluku. Satu per satu kerajaan kerajaan di Indonesia dikuasai VOC. Kebijakan ekspansif (menguasai) semakin gencar diwujudkan ketika Jan Pieterzoon Coen diangkat menjadi Gubernur Jenderal menggantikan Pieter Both pada tahun 1617.
Pada masa pemerintahan Coen terjadi pertentangan antara Inggris dan Belanda (VOC) untuk
memperebutkan pusat perdagangan di Jayakarta.
Pertentangan tersebut dimenangkan oleh Belanda (VOC) setelah mendapat bantuan dari Pangeran Arya Ranamenggala dari Banten. Inggris diusir dari Jayakarta dan Pangeran Jayakarta diberhentikan sebagai penguasa Jayakarta.
Pada tanggal 12 Maret 1619, VOC secara resmi mendirikan benteng yang kemudian diberi nama
Batavia. Kantor dagang VOC yang ada di Ambon, Maluku dipindahkan ke Batavia setelah Jayakarta menyerah kepada Belanda pada tanggal 30 Mei 1619. Pada tanggal yang sama J.P. Coen mengubah nama Jayakarta menjadi Batavia, sehingga hari itu dianggap sebagai hari pendirian Batavia.
Dalam upaya mempertahankan monopoli rempah-rempah di Kepulauan Maluku, VOC melakukan dan pelayaran Hongi (Hongi Tochten). Pelayaran Hongi yaitu pelayaran keliling
menggunakan perahu jenis kora-kora yang dipersenjatai untuk mengatasi perdagangan gelap atau penyelundupan rempah-rempah di Maluku.

Perahu Kora Kora Maluku

Pelayaran ini juga disertai hak ekstirpasi, yaitu hak untuk membinasakan tanaman rempah-rempah yang melebihi ketentuan.
Pada tahun 1700-an, VOC berusaha menguasai daerah-daerah pedalaman yang banyak menghasilkan barang dagangan. Imperialisme pedalaman ini sasarannya Kerajaan Banten dan Mataram. Alasannya daerah ini banyak menghasilkan barang-barang komoditas seperti beras, gula merah, jenis-jenis kacang, dan lada. Oleh karena itu VOC menerapkan berbagai macam kebijakan.

Kebijakan VOC dan Pengaruhnya bagi Rakyat Indonesia
Berikut ini kebijakan-kebijakan VOC yang diterapkan di Indonesia.
a. Menguasai pelabuhan-pelabuhan dan mendirikan benteng untuk melaksanakan monopoli perdagangan.
b. Melaksanakan politik devide et impera (memecah dan menguasai) dalam rangka untuk menguasai      kerajaan-kerajaan di Indonesia.
c. Untuk memperkuat kedudukannya, perlu mengangkat seorang Gubernur Jenderal.
d. Melaksanakan sepenuhnya hak Oktroi yang diberikan pemerintah Belanda.
e. Membangun pangkalan/markas VOC yang semula di Banten dan Ambon, dipindah ke Jayakarta        (Batavia).
f. Melaksanakan pelayaran Hongi (Hongi tochten).
g. Adanya hak ekstirpasi, yaitu hak untuk membinasakan tanaman rempah-rempah yang melebihi          ketentuan.
h. Adanya verplichte leverantie (penyerahan wajib) dan Prianger stelsel (sistem Priangan).

Berikut ini pengaruh kebijakan VOC bagi rakyat Indonesia.
a. Kekuasaan raja menjadi berkurang atau bahkan didominasi secara keseluruhan oleh
    VOC.
b. Wilayah kerajaan terpecah-belah dengan melahirkan kerajaan dan penguasa baru di bawah kendali VOC.
c. Hak oktroi (istimewa) VOC, membuat masyarakat Indonesia menjadi miskin, dan menderita.
d. Rakyat Indonesia mengenal ekonomi uang, mengenal sistem pertahanan benteng, etika perjanjian, dan         prajurit bersenjata modern (senjata api, meriam).
e. Pelayaran Hongi, dapat dikatakan sebagai suatu perampasan, perampokan, perbudakan, dan        pembunuhan.
f. Hak ekstirpasi bagi rakyat merupakan ancaman matinya suatu harapan atau sumber penghasilan yang     bisa berlebih.

Sumber : IPS SMP - Sanusi Fatah

Konflik Internal Kerajaan di Masa Kolonialisme



Bagaimana bisa Vereenigde Oostindische Compagnie atau VOC yang didirikan pada tanggal 20 Maret 1602 pada masanya bisa menguasai wilayah Indonesia yang luas? Bagaimana pula Indonesia yang luas itu bisa dikuasai perusahaan kongsi dagang dari Belanda, negara kecil di Eropa?

Sejarawan UGM Sri Margana menjelaskan, saat VOC dibentuk, tahun 1602, belum ada Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Yang ada, imbuhnya, hanya kerajaan-kerajaan di wilayah cikal bakal Indonesia. Saat masuk ke wilayah Nusantara, VOC membuat perjanjian dan kerjasama dagang dengan kerajaan-kerajaan Nusantara ini. 


"Seperti Amangkurat I yang terguling oleh pemberontakan Trunojoyo dari Madura. Amangkurat I saat itu harus beralih ke barat, ke Tegal hingga kemudian meninggal di Tegal. Penerus Amangkurat, kemudian meminta bantuan VOC. Adipati Anom, penerus Raja Amangkurat itu adalah raja pertama yang dipilih dan dilantik Belanda," jelas Sri dalam 'Seminar Bedah Sejarah VOC 1602 Batavia' di Kemendikbud, Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta Selatan, Rabu (11/2/2015).

Paku Buwono II

Mataram pada tahun 1755 pecah menjadi Surakarta dan Yogyakarta. Pada tahun 1749 sampai 1755/1757 di Mataram berkobar perlawanan terhadap VOC lagi. Kali ini dipimpin oleh Pangeran Mangkubumi dan Mas Said. Pangeran Mangkubumi adalah adik Paku Buwono II. Sunan Paku Buwono II telah berjanji akan menyerahkan sebidang tanah kepada Pangeran Mangkubumi apabila dapat menundukkan Mas Said. Karena janji itu tidak ditepati, maka terjadilah perselisihan antara Paku Buwono II dengan Pangeran Mangkubumi. Ketika Gubernur Jendral Van Imhoff berkunjung ke Surakarta, ia mencampuri perselisihan itu. Van Imhoff memarahi Pangeran Mangkubumi di depan orang-orang yang sedang menghadap raja. Pangeran Mangkubumi merasa tersinggung dan sangat malu. 

Kemudian ia meninggalkan istana dan menemui Mas Said. Kedua orang bangsawan itu bekerja sama mengobarkan perlawanan terhadap VOC. Ketika perang mulai berkobar Paku Buwono II wafat. Sebelum wafat , ia telah menitipkan Kerajaan Mataram kepada VOC. Kemudian VOC mengangkat putra mahkota dengan gelar Paku Buwono III. Perlawanan berkobar terus-menerus. Pangeran Mangkubumi menggunakan taktik perang  gerilya. 


Di tepi sngai Bogowonto pasukan VOC dalam jumlah besar di bawah pimpinanan Mayor De Clerx terjebak, dan dapat dibinasakan. Pasukan VOC di tempat-tempat lain dapat dikalahkan juga. Pembesar-pembesarnya merasa cemas. Mereka segera membujuk Pangeran Mangkubumi agar mau berdamai. Bujukan itu berhasil. Pangeran Mangkubumi bersedia mengadakan perdamaian. Pada tahun 1755 ditandatangani Perjanjian Gianti. Isi dari Perjanjian Gianti adalah "membagi Kerajaan Mataram menjadi dua bagian", yaitu Mataram Barat diserahkan kepada Pangeran Mangkubumi dan Mataram Timur tetap dikuasai oleh Paku Buwono III. 
( Sumber : https://www.sejarah-negara.com/2013/10/sejarah-pecahnya-kerajaan-mataram.html#gsc.tab=0 )

Sultan Ageng Tirtayasa


memerintah banten paada tahun 1651-1682bM, kerajaan banten pada masa beliau mencapai masa kejayaan. sultan ageng tirtayasa berusaha memperluas wilayah kerajaannya ini pada tahun 1671 M, sultan ageng tirtayasa mengangkat putranya menjadi raja pembantu dengan gelar sultan abdul kahar atau sultan haji. sultan haji menjalin hubungan baik dengan belanda. melihat hal itu, sultan ageng tirtayasa kecewa dan menarik kembali jabatan raja pembantu bagi sultan haji, akan tetapi, sultan haji berusaha mempertahankan dengan meminta bantuan kepada belanda. akibatnya terjadilah perang saudara. sultan ageng tirtayasa tertangkap dan dipenjarakan di batavia hingg beliau wafat pada tahun1691M.
( Sumber : http://www.gurupendidikan.co.id/kerajaan-banten-sejarah-raja-dan-peninggalan-beserta-masa-kejayaannya-secara-lengkap/)


Gowa dan Bone 




Dua kerajaan yang selalu bersaing, Gowa-Tallo dan Bone, terus terlibat konflik. Ketika terjadi pertentangan mengenai monopoli antara Gowa dan VOC, Sultan Gowa, Sultan Hasanudin, mengambil langkah mengadakan pengawasan ketat terhadap Bone dan mengerahkan tenaga kerja untuk memperkuat pertahanan Makassar. Dalam pertempuran antara Gowa dan Bone, Bone mengalami kekalahan besar. Orang-orang Bugis kemudian bersatu di bawah pimpinan Arung Palaka untuk melawan Makassar. VOC mendapat keuntungan besar dari persekutuan orang-orang Bugis itu, persekutuan Soppeng dan Bone, bahkan Belanda juga berhasil mengajak Ternate untuk terlibat dalam peperangan melawan Makassar. Dalam peperangan itu, Makassar mengalami kekalahan. Konfrontasi antara Makassar dan VOC baru berakhir setelah diadakan gencatan senjata pada tanggal 6 November 1667, kemudian perjanjian Bongaya tanggal 13 November 1667. Isi perjanjian itu terutama menekankan prinsip hidup berdampingan  secara serasi dalam suasana perdamaian. ( Sumber :  

https://id.wikipedia.org/wiki/Arung_Palakka )


Penetrasi politik Belanda juga terjadi kerajaan Banjarmasin. Belanda pertama kali datang ke kerajaan ini pada awal abad ke-17. Mereka dengan susah payah mendapatkan izin untuk berdagang. Karena dipandang merugikan pedagang Banjar sendiri, para pedagang Belanda ini akhirnya diusir dari sana. Posisi mereka kemudian diisi oleh para pedagang asal Inggris. Namun, juga diusir dari kerajaan itu dengan alasan yang sama. Setelah pedagang Inggris meninggalkan Banjarmasin pada dasawarsa ketiga abad ke-18, Banjar didatangi lagi oleh pedagang Belanda. Mereka mendekati Sultan Tahlilillah dan pada tahun 1734, mereka berhasil mengadakan perjanjian dengan mendapatkan fasilitas perdagangan di kerajaan itu. Pada mulanya, mereka masih sangat tergantung kepada kebijaksanaan sultan. Kesempatan untuk memperbesar pengaruh balam kerajaan Banjar baru mereka peroleh ketika terjadi konflik antara Pangeran Amir dan Pangeran Nata. Pangeran Amir yang lebih disenangi rakyat tersingkir dalam persaingannya memperebutkan tahta kerajaan dengan Pangeran Nata yang mendapat bantuan Belanda. Pangeran Amir akhirnya dapat ditangkap dan dibuang ke Ceylon. 
( Sumber : https://id.wikipedia.org/wiki/Sultan_Hasanuddin )






Senin, 26 Februari 2018

Kebijakan Pemerintah Kolonial dan Pengaruhnya di Indonesia. Bag. 1

Kebijakan Pemerintah Kolonial Portugis



Kerajaan Uli Lima dan Uli Siwa

Kekuasaan Portugis di Maluku berlangsung cukup lama, sekitar tahun 1512 sampai 1641. Kebijakan-kebijakan yang dipraktikkan selama itu sangat berpengaruh terhadap kehidupan
masyarakat Indonesia. 
Berikut ini berbagai kebijakan pemerintah colonial Portugis.
a. Berusaha menanamkan kekuasaan di Maluku.
b. Menyebarkan agama Katolik di daerah-daerah yang dikuasai.
c. Mengembangkan bahasa dan seni musik keroncong Portugis.
d. Sistem monopoli perdagangan cengkih dan pala di Ternate.

Dengan kebijakan ini, petani Ternate tidak lagi memiliki kebebasan untuk menjual atau menentukan harga hasil panennya. Mereka harus menjual hasil panennya hanya kepada Portugis dengan harga yang ditentukan oleh Portugis. Akibatnya, petani sangat dirugikan, dan Portugis memperoleh keuntungan yang sangat besar.
Pengaruh dari kebijakan ini ternyata tertanam pada rakyat Indonesia khususnya rakyat Maluku. Ada yang bersifat negatif dan ada yang positif. Berikut ini berbagai pengaruh yang ditimbulkan dari kebijakan-kebijakan Portugis.
a. Terganggu dan kacaunya jaringan perdagangan.
b. Banyaknya orang-orang beragama Katolik di daerah pendudukan Portugis.
c. Rakyat menjadi miskin dan menderita.
d. Tumbuh benih rasa benci terhadap kekejaman Portugis.
e. Munculnya rasa persatuan dan kesatuan rakyat Maluku untuk menentang      Portugis.
f. Bahasa Portugis turut memperkaya perbendaharaan kata/ kosakata dan          nama keluarga seperti da Costa, Dias, de Fretes, Mendosa, Gonzalves, da          Silva, dan lain-lain.
g. Seni musik keroncong yang terkenal di Indonesia sebagai peninggalan              Portugis adalah keroncong Morisco.
h. Banyak peninggalan arsitektur yang bercorak Portugis dan senjata                  api/meriam di daerah pendudukan.