Jumat, 02 Maret 2018

Kebijakan Pemerintah Kolonial dan Pengaruhnya di Indonesia Bag . 5


5. Kebijakan Pemerintah Hindia Belanda

Setelah Indonesia kembali di bawah pemerintah kolonial Belanda, pemerintahan dipegang oleh Komisaris Jenderal. Komisaris ini terdiri dari Komisaris Jenderal Ellout, dan Buyskes yang konservatif, serta Komisaris Jenderal van der Capellen yang beraliran liberal. Untuk selanjutnya pemerintahanan di Indonesia dipegang oleh golongan liberal di bawah pimpinan Komisaris Jenderal van der Capellen (1817 - 1830).

Komisaris Jenderal van der Capellen

Selama memerintah, van der Capellen berusaha mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk membayar hutang hutang Belanda yang cukup besar selama perang.

Kebijakan yang diambil adalah dengan meneruskan kebijakan Raffles yaitu menyewakan tanah-tanah terutama kepada bangsawan Eropa. Oleh kalangan konservatif seiring dengan kesulitan ekonomi yang menimpa Belanda, kebijakan ekonomi liberal dianggap gagal. Dalam perkembangannya, kaum konservatif dan liberal silih berganti mendominasi parlemen dan pemerintahan. Keadaan ini berdampak kebijakan di Indonesia sebagai tanah jajahan juga silih berganti mengikuti kebijakan yang ada di Belanda.

a. Cultuurstelsel atau Sistem Tanam Paksa
Kegagalan van der Capellen menyebabkan jatuhnya kaum liberal, sehingga menyebabkan  pemerintahan didominasi kaum konservatif.
Gubernur Jenderal van den Bosch, menerapkan kebijakan politik dan ekonomi konservatif di Indonesia.
Pada tahun 1830 mulai diterapkan aturan kerja rodi (kerja paksa) yang disebut Cultuurstelsel. Cultuurstelsel dalam bahasa Inggris adalah Cultivation System yang memiliki arti sistem tanam. Namun di Indonesia cultuurstelsel lebih dikenal dengan istilah tanam paksa.

Cultuurstelsel

Ini cukup beralasan diartikan seperti itu karena dalam praktiknya rakyat dipaksa untuk bekerja dan menanam tanaman wajib tanpa mendapat imbalan. Tanaman wajib adalah tanaman perdagangan yang laku di dunia internasional seperti kopi, teh, lada, kina, dan tembakau.

Cultuurstelsel diberlakukan dengan tujuan memperoleh pendapatan sebanyak mungkin dalam waktu relatif singkat. Dengan harapan utang-utang Belanda yang besar dapat diatasi.
Berikut ini pokok-pokok cultuurstelsel.
1) Rakyat wajib menyiapkan 1/5 dari lahan garapan untuk ditanami tanaman wajib.
2) Lahan tanaman wajib bebas pajak, karena hasil yang disetor sebagai pajak.
3) Setiap kelebihan hasil panen dari jumlah pajak akan dikembalikan.
4) Tenaga dan waktu yang diperlukan untuk menggarap tanaman wajib, tidak boleh melebihi waktu yang diperlukan untuk menanam padi.
5) Rakyat yang tidak memiliki tanah wajib bekerja selama 66 hari dalam setahun di perkebunan atau pabrik milik pemerintah.
6) Jika terjadi kerusakan atau gagal panen, menjadi tanggung jawab pemerintah.
7) Pelaksanaan tanam paksa diserahkan sepenuhnya kepada para penguasa pribumi (kepala desa).
Untuk mengawasi pelaksanaan tanam paksa, Belanda menyandarkan diri pada sistem tradisional dan feodal. Para bupati dipekerjakan sebagai mandor/pengawas dalam tanam paksa. Para bupati sebagai perantara tinggal meneruskan perintah dari pejabat Belanda.
Kalau melihat pokok-pokok cultuurstelsel dilaksanakan dengan semestinya merupakan aturan yang baik. Namun praktik di lapangan jauh dari pokok-pokok tersebut atau dengan kata lain terjadi penyimpangan.
Berikut ini penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam sistem tanam paksa.
1) Tanah yang harus diserahkan rakyat cenderung melebihi dari ketentuan 1/5.
2) Tanah yang ditanami tanaman wajib tetap ditarik pajak.
3) Rakyat yang tidak punya tanah garapan ternyata bekerja di pabrik atau perkebunan lebih dari 66 hari atau 1/5 tahun.
4) Kelebihan hasil tanam dari jumlah pajak ternyata tidak dikembalikan.
5) Jika terjadi gagal panen ternyata ditanggung petani.

Dalam pelaksanaannya, tanam paksa banyak mengalami penyimpangan dari ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan.
Penyimpangan ini terjadi karena penguasa lokal, tergiur oleh janji Belanda yang menerapkan sistem cultuur procenten. Cultuur procenten atau prosenan tanaman adalah hadiah dari pemerintah bagi para pelaksana tanam paksa (penguasa pribumi, kepala desa) yang dapat menyerahkan hasil panen melebihi ketentuan yang diterapkan dengan tepat waktu.
Bagi rakyat di Pulau Jawa, sistem tanam paksa dirasakan sebagai bentuk penindasan yang sangat menyengsarakan rakyat. Rakyat menjadi melarat dan menderita. Terjadi kelaparan yang menghebat di Cirebon (1844), Demak (1848), dan Grobogan (1849). Kelaparan
mengakibatkan kematian penduduk meningkat.
Adanya berita kelaparan menimbulkan berbagai reaksi, baik dari rakyat Indonesia maupun orang-orang Belanda. Rakyat selalu mengadakan perlawanan tetapi tidak pernah berhasil. Penyebabnya bergerak sendiri-sendiri secara sporadis dan tidak terorganisasi secara baik. Reaksi dari Belanda sendiri yaitu adanya pertentangan  dari golongan liberal dan humanis terhadap pelaksanaan sistem tanam paksa.
Pada tahun 1860, Edward Douwes Dekker yang dikenal dengan nama samaran Multatuli menerbitkan sebuah buku yang berjudul “Max Havelar”. Buku ini berisi tentang keadaan pemerintahan kolonial yang bersifat menindas dan korup di Jawa. Di samping Douwes Dekker, juga ada tokoh lain yang menentang tanam paksa yaitu Baron van Hoevel, dan Fransen van de Putte yang menerbitkan artikel “Suiker Contracten” (perjanjian gula).

Edward Douwes Dekker

Menghadapi berbagai reaksi yang ada, pemerintah Belanda mulai menghapus sistem tanam paksa, namun secara bertahap. Sistem tanam paksa secara resmi dihapuskan pada tahun 1870 berdasarkan UU Landreform (UU Agraria).

Meskipun tanam paksa sangat memberatkan rakyat, namun di sisi lain juga memberikan pengaruh yang positif terhadap rakyat, yaitu:
1) terbukanya lapangan pekerjaan,
2) rakyat mulai mengenal tanaman-tanaman baru, dan
3) rakyat mengenal cara menanam yang baik.

b . Politik Pintu Terbuka
Pada tahun 1860-an politik batig slot (mencari keuntungan besar) mendapat pertentangan dari golongan liberalis dan humanitaris.
Kaum liberal dan kapital memperoleh kemenangan di parlemen. Terhadap tanah jajahan (Hindia Belanda), kaum liberal berusaha memperbaiki taraf kehidupan rakyat Indonesia. Keberhasilan
tersebut dibuktikan dengan dikeluarkannya Undang-Undang Agraria tahun 1870. Pokok-pokok UU Agraria tahun 1870 berisi:
1) pribumi diberi hak memiliki tanah dan menyewakannya kepada pengusaha swasta, serta
2) pengusaha dapat menyewa tanah dari gubernemen dalam jangka waktu 75 tahun.
Dikeluarkannya UU Agraria ini mempunyai tujuan yaitu:
1) memberi kesempatan dan jaminan kepada swasta asing (Eropa) untuk membuka usaha dalam bidang perkebunan di Indonesia, dan
2) melindungi hak atas tanah penduduk agar tidak hilang (dijual).
UU Agraria tahun 1870 mendorong pelaksanaan politik pintu terbuka yaitu membuka Jawa bagi perusahaan swasta. Kebebasan dan keamanan para pengusaha dijamin. Pemerintah kolonial hanya memberi kebebasan para pengusaha untuk menyewa tanah, bukan untuk membelinya. Hal ini dimaksudkan agar tanah penduduk tidak jatuh ke tangan asing. Tanah sewaan itu dimaksudkan untuk memproduksi tanaman yang dapat diekspor ke Eropa.

Pabrik Gula jaman Belanda

Selain UU Agraria 1870, pemerintah Belanda juga mengeluarkan Undang-Undang Gula (Suiker Wet) tahun 1870. Tujuannya adalah untuk memberikan kesempatan yang lebih luas kepada para

pengusaha perkebunan gula. Isi dari UU ini yaitu:
1) perusahaan-perusahaan gula milik pemerintah akan dihapus secara bertahap, dan
2) pada tahun 1891 semua perusahaan gula milik pemerintah harus sudah diambil alih oleh swasta.
Dengan adanya UU Agraria dan UU Gula tahun 1870, banyak swasta asing yang menanamkan modalnya di Indonesia, baik dalam usaha perkebunan maupun pertambangan.
Berikut ini beberapa perkebunan asing yang muncul.
1) Perkebunan tembakau di Deli, Sumatra Utara.
2) Perkebunan tebu di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
3) Perkebunan kina di Jawa Barat.
4) Perkebunan karet di Sumatra Timur.
5) Perkebunan kelapa sawit di Sumatra Utara.
6) Perkebunan teh di Jawa Barat dan Sumatra Utara.

Pedati Mengangkut Gula ke Pabrik



Politik pintu terbuka yang diharapkan dapat memperbaiki kesejahteraan rakyat, justru membuat rakyat semakin menderita.
Eksploitasi terhadap sumber-sumber pertanian maupun tenaga manusia semakin hebat. Rakyat semakin menderita dan sengsara.
Adanya UU Agraria memberikan pengaruh bagi kehidupan rakyat, seperti berikut.
1) Dibangunnya fasilitas perhubungan dan irigasi.
2) Rakyat menderita dan miskin.
3) Rakyat mengenal sistem upah dengan uang, juga mengenal barang-barang ekspor dan impor.
4) Timbul pedagang perantara. Pedagang-pedagang tersebut pergi ke daerah pedalaman, mengumpulkan hasil pertanian dan menjualnya kepada grosir.
5) Industri atau usaha pribumi mati karena pekerja-pekerjanya banyak yang pindah bekerja di perkebunan dan pabrik-pabrik.

c . Politik Etis
Politik pintu terbuka ternyata tidak membawa kemakmuran bagi rakyat Indonesia. Van Deventer mengecam pemerintah Belanda yang tidak memisahkan keuangan negeri induk dan negeri jajahan.
Kaum liberal dianggap hanya mementingkan prinsip kebebasan untuk mencari keuntungan tanpa memerhatikan nasib rakyat.
Contohnya perkebunan tebu yang mengeksploitasi tenaga rakyat secara besar-besaran.
Dampak politik pintu terbuka bagi Belanda sangat besar.
Negeri Belanda mencapai kemakmuran yang sangat pesat. Sementara rakyat di negeri jajahan sangat miskin dan menderita.
Oleh karena itu, van Deventer mengajukan politik yang diperjuangkan untuk kesejahteraan rakyat. Politik ini dikenal dengan politik etis atau politik balas budi karena Belanda dianggap mempunyai hutang budi kepada rakyat Indonesia yang dianggap telah membantu
meningkatkan kemakmuran negeri Belanda.
Politik etis yang diusulkan van Deventer ada tiga hal, sehingga sering disebut Trilogi van  Deventer



van  Deventer

Isi Trilogi van Deventer dan Penyimpangan- Penyimpangannya
Berikut ini Isi Trilogi van Deventer.
1) Irigasi (pengairan), yaitu diusahakan pembangunan irigasi untuk mengairi sawah-sawah milik penduduk untuk membantu peningkatan kesejahteraan penduduk.
2) Edukasi (pendidikan), yaitu penyelenggaraan pendidikan bagi masyarakat pribumi agar mampu menghasilkan kualitas sumber daya manusia yang lebih baik.
3) Migrasi (perpindahan penduduk), yaitu perpindahan penduduk dari daerah yang padat penduduknya (khususnya Pulau Jawa) ke daerah lain yang jarang penduduknya agar lebih merata.


Irigasi jaman Belanda

Pada dasarnya kebijakan-kebijakan yang diajukan oleh van Deventer tersebut baik. Akan tetapi dalam  pelaksanaannya terjadi penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh para pegawai Belanda. Berikut ini penyimpangan-penyimpangan tersebut.
1) Irigasi
Pengairan (irigasi) hanya ditujukan kepada tanah-tanah yang subur untuk perkebunan swasta Belanda. Sedangkan milik rakyat tidak dialiri air dari irigasi.
2) Edukasi
Pemerintah Belanda membangun sekolah-sekolah. Pendidikan ditujukan untuk mendapatkan tenaga administrasi yang cakap dan murah.


 Sekolah Jaman Belanda

Pendidikan yang dibuka untuk seluruh rakyat, hanya diperuntukkan kepada anak-anak pegawai negeri dan orang-orang yang mampu. Terjadi diskriminasi pendidikan yaitu pengajaran di sekolah kelas I untuk anak-anak pegawai negeri dan orang-orang yang berharta, dan di sekolah kelas II kepada anak-anak pribumi dan pada umumnya.
3) Migrasi
Migrasi ke daerah luar Jawa hanya ditujukan ke daerah-daerah yang dikembangkan perkebunan-perkebunan milik Belanda.

 Transmigrasi ke Gedongtataan Lampung 1905

Hal ini karena adanya permintaan yang besar akan tenaga kerja di daerah-daerah perkebunan seperti perkebunan di Sumatra Utara, khususnya di Deli, Suriname, dan lain-lain. Mereka dijadikan kuli kontrak. Migrasi ke Lampung mempunyai tujuan menetap. Karena migrasi ditujukan untuk memenuhi kebutuhan akan tenaga kerja, maka tidak jarang banyak yang melarikan diri.

Perkebunan Tebu Jaman Belanda

Untuk mencegah agar pekerja tidak melarikan diri, pemerintah Belanda mengeluarkan Poenale sanctie, yaitu peraturan yang menetapkan bahwa pekerja yang melarikan diri akan dicari dan ditangkap polisi, kemudian dikembalikan kepada mandor/pengawasnya.
Berbagai kebijakan yang diambil oleh VOC maupun pemerintah Belanda mulai dari monopoli perdagangan, penyerahan wajib, sistem tanam paksa, maupun politik pintu terbuka tidak membawa perubahan pada kesejahteraan rakyat. Rakyat tetap miskin dan menderita sampai pada pendudukan militer Jepang.

Sumber : IPS SMP - Sanusi Fatah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar