5.
Kebijakan Pemerintah Hindia Belanda
Setelah Indonesia kembali di bawah
pemerintah kolonial Belanda, pemerintahan dipegang oleh Komisaris Jenderal.
Komisaris ini terdiri dari Komisaris Jenderal Ellout, dan Buyskes yang
konservatif, serta Komisaris Jenderal van der Capellen yang beraliran liberal.
Untuk selanjutnya pemerintahanan di Indonesia dipegang oleh golongan liberal di
bawah pimpinan Komisaris Jenderal van der Capellen (1817 - 1830).
Komisaris Jenderal van der Capellen
Selama memerintah, van der Capellen
berusaha mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya. Hal ini dilakukan dengan
tujuan untuk membayar hutang hutang Belanda yang cukup besar selama perang.
Kebijakan yang diambil adalah dengan
meneruskan kebijakan Raffles yaitu menyewakan tanah-tanah terutama kepada
bangsawan Eropa. Oleh kalangan konservatif seiring dengan kesulitan ekonomi
yang menimpa Belanda, kebijakan ekonomi liberal dianggap gagal. Dalam perkembangannya,
kaum konservatif dan liberal silih berganti mendominasi parlemen dan
pemerintahan. Keadaan ini berdampak kebijakan di Indonesia sebagai tanah
jajahan juga silih berganti mengikuti kebijakan yang ada di Belanda.
a. Cultuurstelsel atau
Sistem Tanam Paksa
Kegagalan van der Capellen menyebabkan
jatuhnya kaum liberal, sehingga menyebabkan
pemerintahan didominasi kaum konservatif.
Gubernur Jenderal van den Bosch,
menerapkan kebijakan politik dan ekonomi konservatif di Indonesia.
Pada tahun 1830 mulai diterapkan
aturan kerja rodi (kerja paksa) yang disebut Cultuurstelsel. Cultuurstelsel dalam
bahasa Inggris adalah Cultivation System yang memiliki arti sistem
tanam. Namun di Indonesia cultuurstelsel lebih dikenal dengan istilah
tanam paksa.
Cultuurstelsel
Ini cukup beralasan diartikan seperti
itu karena dalam praktiknya rakyat dipaksa untuk bekerja dan menanam tanaman
wajib tanpa mendapat imbalan. Tanaman wajib adalah tanaman perdagangan yang
laku di dunia internasional seperti kopi, teh, lada, kina, dan tembakau.
Cultuurstelsel diberlakukan
dengan tujuan memperoleh pendapatan sebanyak mungkin dalam waktu relatif
singkat. Dengan harapan utang-utang Belanda yang besar dapat diatasi.
Berikut ini pokok-pokok cultuurstelsel.
1) Rakyat wajib menyiapkan 1/5 dari lahan
garapan untuk ditanami tanaman wajib.
2) Lahan tanaman wajib bebas pajak,
karena hasil yang disetor sebagai pajak.
3) Setiap kelebihan hasil panen dari
jumlah pajak akan dikembalikan.
4) Tenaga dan waktu yang diperlukan
untuk menggarap tanaman wajib, tidak boleh melebihi waktu yang diperlukan untuk
menanam padi.
5) Rakyat yang tidak memiliki tanah
wajib bekerja selama 66 hari dalam setahun di perkebunan atau pabrik milik
pemerintah.
6) Jika terjadi kerusakan atau gagal
panen, menjadi tanggung jawab pemerintah.
7) Pelaksanaan tanam paksa diserahkan
sepenuhnya kepada para penguasa pribumi (kepala desa).
Untuk mengawasi pelaksanaan tanam
paksa, Belanda menyandarkan diri pada sistem tradisional dan feodal. Para
bupati dipekerjakan sebagai mandor/pengawas dalam tanam paksa. Para bupati
sebagai perantara tinggal meneruskan perintah dari pejabat Belanda.
Kalau melihat pokok-pokok cultuurstelsel
dilaksanakan dengan semestinya merupakan aturan yang baik. Namun praktik di
lapangan jauh dari pokok-pokok tersebut atau dengan kata lain terjadi
penyimpangan.
Berikut ini penyimpangan-penyimpangan
yang terjadi dalam sistem tanam paksa.
1) Tanah yang harus diserahkan rakyat
cenderung melebihi dari ketentuan 1/5.
2) Tanah yang ditanami tanaman wajib
tetap ditarik pajak.
3) Rakyat yang tidak punya tanah
garapan ternyata bekerja di pabrik atau perkebunan lebih dari 66 hari atau 1/5
tahun.
4) Kelebihan hasil tanam dari jumlah
pajak ternyata tidak dikembalikan.
5) Jika terjadi gagal panen ternyata
ditanggung petani.
Dalam pelaksanaannya, tanam paksa
banyak mengalami penyimpangan dari ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan.
Penyimpangan ini terjadi karena
penguasa lokal, tergiur oleh janji Belanda yang menerapkan sistem cultuur
procenten. Cultuur procenten atau prosenan tanaman adalah hadiah
dari pemerintah bagi para pelaksana tanam paksa (penguasa pribumi, kepala desa)
yang dapat menyerahkan hasil panen melebihi ketentuan yang diterapkan dengan
tepat waktu.
Bagi rakyat di Pulau Jawa, sistem
tanam paksa dirasakan sebagai bentuk penindasan yang sangat menyengsarakan
rakyat. Rakyat menjadi melarat dan menderita. Terjadi kelaparan yang menghebat
di Cirebon (1844), Demak (1848), dan Grobogan (1849). Kelaparan
mengakibatkan kematian penduduk
meningkat.
Adanya berita kelaparan menimbulkan
berbagai reaksi, baik dari rakyat Indonesia maupun orang-orang Belanda. Rakyat
selalu mengadakan perlawanan tetapi tidak pernah berhasil. Penyebabnya bergerak
sendiri-sendiri secara sporadis dan tidak terorganisasi secara baik. Reaksi
dari Belanda sendiri yaitu adanya pertentangan
dari golongan liberal dan humanis terhadap pelaksanaan sistem tanam
paksa.
Pada tahun 1860, Edward Douwes Dekker
yang dikenal dengan nama samaran Multatuli menerbitkan sebuah buku yang
berjudul “Max Havelar”. Buku ini berisi tentang keadaan pemerintahan kolonial
yang bersifat menindas dan korup di Jawa. Di samping Douwes Dekker, juga ada
tokoh lain yang menentang tanam paksa yaitu Baron van Hoevel, dan Fransen van de
Putte yang menerbitkan artikel “Suiker Contracten” (perjanjian gula).
Edward Douwes Dekker
Menghadapi berbagai reaksi yang ada,
pemerintah Belanda mulai menghapus sistem tanam paksa, namun secara bertahap. Sistem
tanam paksa secara resmi dihapuskan pada tahun 1870 berdasarkan UU Landreform
(UU Agraria).
Meskipun tanam paksa sangat
memberatkan rakyat, namun di sisi lain juga memberikan pengaruh yang positif
terhadap rakyat, yaitu:
1) terbukanya lapangan pekerjaan,
2) rakyat mulai mengenal
tanaman-tanaman baru, dan
3) rakyat mengenal cara menanam yang
baik.
b . Politik Pintu Terbuka
Pada tahun 1860-an politik batig
slot (mencari keuntungan besar) mendapat pertentangan dari golongan
liberalis dan humanitaris.
Kaum liberal dan kapital memperoleh
kemenangan di parlemen. Terhadap tanah jajahan (Hindia Belanda), kaum liberal
berusaha memperbaiki taraf kehidupan rakyat Indonesia. Keberhasilan
tersebut dibuktikan dengan
dikeluarkannya Undang-Undang Agraria tahun 1870. Pokok-pokok UU Agraria tahun
1870 berisi:
1) pribumi diberi hak memiliki tanah
dan menyewakannya kepada pengusaha swasta, serta
2) pengusaha dapat menyewa tanah dari
gubernemen dalam jangka waktu 75 tahun.
Dikeluarkannya UU Agraria ini
mempunyai tujuan yaitu:
1) memberi kesempatan dan jaminan
kepada swasta asing (Eropa) untuk membuka usaha dalam bidang perkebunan di
Indonesia, dan
2) melindungi hak atas tanah penduduk
agar tidak hilang (dijual).
UU Agraria tahun 1870 mendorong
pelaksanaan politik pintu terbuka yaitu membuka Jawa bagi perusahaan swasta.
Kebebasan dan keamanan para pengusaha dijamin. Pemerintah kolonial hanya memberi
kebebasan para pengusaha untuk menyewa tanah, bukan untuk membelinya. Hal ini
dimaksudkan agar tanah penduduk tidak jatuh ke tangan asing. Tanah sewaan itu
dimaksudkan untuk memproduksi tanaman yang dapat diekspor ke Eropa.
Pabrik Gula jaman Belanda
Selain UU Agraria 1870, pemerintah
Belanda juga mengeluarkan Undang-Undang Gula (Suiker Wet) tahun 1870.
Tujuannya adalah untuk memberikan kesempatan yang lebih luas kepada para
pengusaha perkebunan gula. Isi dari UU
ini yaitu:
1) perusahaan-perusahaan gula milik
pemerintah akan dihapus secara bertahap, dan
2) pada tahun 1891 semua perusahaan
gula milik pemerintah harus sudah diambil alih oleh swasta.
Dengan adanya UU Agraria dan UU Gula
tahun 1870, banyak swasta asing yang menanamkan modalnya di Indonesia, baik
dalam usaha perkebunan maupun pertambangan.
Berikut ini beberapa perkebunan asing
yang muncul.
1) Perkebunan tembakau di Deli,
Sumatra Utara.
2) Perkebunan tebu di Jawa Tengah dan
Jawa Timur.
3) Perkebunan kina di Jawa Barat.
4) Perkebunan karet di Sumatra Timur.
5) Perkebunan kelapa sawit di Sumatra
Utara.
6) Perkebunan teh di Jawa Barat dan Sumatra Utara.
Pedati Mengangkut
Gula ke Pabrik
Politik pintu terbuka yang diharapkan
dapat memperbaiki kesejahteraan rakyat, justru membuat rakyat semakin
menderita.
Eksploitasi terhadap sumber-sumber
pertanian maupun tenaga manusia semakin hebat. Rakyat semakin menderita dan
sengsara.
Adanya UU Agraria memberikan pengaruh
bagi kehidupan rakyat, seperti berikut.
1) Dibangunnya fasilitas perhubungan
dan irigasi.
2) Rakyat menderita dan miskin.
3) Rakyat mengenal sistem upah dengan
uang, juga mengenal barang-barang ekspor dan impor.
4) Timbul pedagang perantara.
Pedagang-pedagang tersebut pergi ke daerah pedalaman, mengumpulkan hasil
pertanian dan menjualnya kepada grosir.
5) Industri atau usaha pribumi mati
karena pekerja-pekerjanya banyak yang pindah bekerja di perkebunan dan
pabrik-pabrik.
c . Politik Etis
Politik pintu terbuka ternyata tidak
membawa kemakmuran bagi rakyat Indonesia. Van Deventer mengecam pemerintah
Belanda yang tidak memisahkan keuangan negeri induk dan negeri jajahan.
Kaum liberal dianggap hanya mementingkan
prinsip kebebasan untuk mencari keuntungan tanpa memerhatikan nasib rakyat.
Contohnya perkebunan tebu yang
mengeksploitasi tenaga rakyat secara besar-besaran.
Dampak politik pintu terbuka bagi
Belanda sangat besar.
Negeri Belanda mencapai kemakmuran
yang sangat pesat. Sementara rakyat di negeri jajahan sangat miskin dan
menderita.
Oleh karena itu, van Deventer
mengajukan politik yang diperjuangkan untuk kesejahteraan rakyat. Politik ini
dikenal dengan politik etis atau politik balas budi karena Belanda dianggap
mempunyai hutang budi kepada rakyat Indonesia yang dianggap telah membantu
meningkatkan kemakmuran negeri
Belanda.
Politik etis yang diusulkan van
Deventer ada tiga hal, sehingga sering disebut Trilogi van Deventer
van Deventer
Isi Trilogi van Deventer dan
Penyimpangan- Penyimpangannya
Berikut ini Isi Trilogi van Deventer.
1) Irigasi (pengairan), yaitu
diusahakan pembangunan irigasi untuk mengairi sawah-sawah milik penduduk untuk
membantu peningkatan kesejahteraan penduduk.
2) Edukasi (pendidikan), yaitu
penyelenggaraan pendidikan bagi masyarakat pribumi agar mampu menghasilkan
kualitas sumber daya manusia yang lebih baik.
3) Migrasi (perpindahan penduduk),
yaitu perpindahan penduduk dari daerah yang padat penduduknya (khususnya Pulau
Jawa) ke daerah lain yang jarang penduduknya agar lebih merata.
Irigasi jaman Belanda
Pada dasarnya kebijakan-kebijakan yang
diajukan oleh van Deventer tersebut baik. Akan tetapi dalam pelaksanaannya terjadi
penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh para pegawai Belanda. Berikut ini
penyimpangan-penyimpangan tersebut.
1) Irigasi
Pengairan (irigasi) hanya ditujukan
kepada tanah-tanah yang subur untuk perkebunan swasta Belanda. Sedangkan milik
rakyat tidak dialiri air dari irigasi.
2) Edukasi
Pemerintah Belanda membangun
sekolah-sekolah. Pendidikan ditujukan untuk mendapatkan tenaga administrasi
yang cakap dan murah.
Pendidikan yang dibuka untuk seluruh
rakyat, hanya diperuntukkan kepada anak-anak pegawai negeri dan orang-orang
yang mampu. Terjadi diskriminasi pendidikan yaitu pengajaran di sekolah kelas I
untuk anak-anak pegawai negeri dan orang-orang yang berharta, dan di sekolah
kelas II kepada anak-anak pribumi dan pada umumnya.
3) Migrasi
Migrasi ke daerah luar Jawa hanya
ditujukan ke daerah-daerah yang dikembangkan perkebunan-perkebunan milik
Belanda.
Hal ini karena adanya permintaan yang
besar akan tenaga kerja di daerah-daerah perkebunan seperti perkebunan di
Sumatra Utara, khususnya di Deli, Suriname, dan lain-lain. Mereka dijadikan
kuli kontrak. Migrasi ke Lampung mempunyai tujuan menetap. Karena migrasi
ditujukan untuk memenuhi kebutuhan akan tenaga kerja, maka tidak jarang banyak
yang melarikan diri.
Perkebunan Tebu Jaman Belanda
Untuk mencegah agar pekerja tidak
melarikan diri, pemerintah Belanda mengeluarkan Poenale sanctie, yaitu
peraturan yang menetapkan bahwa pekerja yang melarikan diri akan dicari dan
ditangkap polisi, kemudian dikembalikan kepada mandor/pengawasnya.
Berbagai kebijakan yang diambil oleh
VOC maupun pemerintah Belanda mulai dari monopoli perdagangan, penyerahan
wajib, sistem tanam paksa, maupun politik pintu terbuka tidak membawa perubahan
pada kesejahteraan rakyat. Rakyat tetap miskin dan menderita sampai pada
pendudukan militer Jepang.
Sumber : IPS SMP - Sanusi Fatah