2. Kebijakan VOC
Salah satu kunci keberhasilan VOC
adalah sifatnya yang mudah beradaptasi dengan kondisi yang ada di sekitarnya.
Kebijakannya dapat dikatakan kelanjutan atau tiruan dari sistem yang telah
dilakukan oleh para penguasa lokal. VOC secara cerdik menggunakan lembaga dan
aturan-aturan yang telah ada di dalam masyarakat lokal untuk menjalankan roda compagnienya.
VOC hanya menjalin hubungan dengan golongan raja atau bangsawan, dan merasa
cukup setelah raja dan bangsawan tunduk kepada mereka.
VOC beranggapan tidak ada gunanya
bekerja sama dengan rakyat karena jika rajanya sudah tunduk, maka rakyatnya
akan tunduk pula.
Untuk mengisi kasnya yang kosong, VOC
menerapkan sejumlah kebijakan seperti hak monopoli, penyerahan wajib, penanaman
wajib, dan tenaga kerja wajib yang sebenarnya
Pieter Both,gubernur jenderal VOC yang
pertama.
telah menjadi bagian dari struktur dan kultur yang telah ada
sebelumnya. Penyerahan wajib (Verplichte Leverantie) mewajibkan rakyat
Indonesia di tiaptiap daerah untuk menyerahkan hasil bumi berupa lada, kayu,
beras, kapas, kapas, nila, dan gula kepada VOC.
Dalam upaya memperlancar aktivitas
organisasi, pada tahun 1610 VOC memutuskan untuk membentuk jabatan Gubernur
Jenderal yang pada waktu itu berkedudukan di Maluku. Pieter Both orang pertama
yang menduduki posisi itu.
VOC dibentuk pada tanggal 20 Maret
1602 oleh van Oldenbarnevelt. VOC dibentuk dengan tujuan untuk menghindari
persaingan di antara perusahaan dagang Belanda dan memperkuat diri agar dapat
bersaing dengan perusahaan dagang negara lain, seperti Portugis dan Inggris.
Oleh pemerintah Kerajaan Belanda, VOC diberi hak-hak istimewa yang dikenal
dengan nama hak oktroi, seperti:
a. hak monopoli,
b. hak untuk membuat uang,
c. hak untuk mendirikan benteng,
d. hak untuk melaksanakan perjanjian
dengan kerajaan di Indonesia, dan
f. hak untuk membentuk tentara.
Dengan adanya hak oktroi tersebut,
bangsa Indonesia mengalami kerugian dan penderitaan. Tindakan VOC sangat
sewenang-wenang dan tidak memerhatikan kepentingan rakyat Indonesia.
Untuk menguasai perdagangan
rempah-rempah, VOC menerapkan hak monopoli, menguasai pelabuhan-pelabuhan
penting dan membangun benteng-benteng. Benteng-benteng yang dibangun VOC antara
lain:
a. di Banten disebut benteng Kota
Intan (Fort Speelwijk),
b. di Ambon disebut benteng Victoria,
c. di Makassar disebut benteng
Rotterdam,
d. di Ternate disebut benteng Orange,
dan
e. di Banda disebut benteng Nasao.
J.P . Coen, gubernur jenderal VOC
tahun 1617.
Dengan keunggulan senjata, serta
memanfaatkan konflik di antara penguasa lokal (kerajaan), VOC berhasil
memonopoli perdagangan pala dan cengkih di Maluku. Satu per satu kerajaan
kerajaan di Indonesia dikuasai VOC. Kebijakan ekspansif (menguasai) semakin
gencar diwujudkan ketika Jan Pieterzoon Coen diangkat menjadi Gubernur Jenderal
menggantikan Pieter Both pada tahun 1617.
Pada masa pemerintahan Coen terjadi
pertentangan antara Inggris dan Belanda (VOC) untuk
memperebutkan pusat perdagangan di
Jayakarta.
Pertentangan tersebut dimenangkan oleh
Belanda (VOC) setelah mendapat bantuan dari Pangeran Arya Ranamenggala dari
Banten. Inggris diusir dari Jayakarta dan Pangeran Jayakarta diberhentikan
sebagai penguasa Jayakarta.
Pada tanggal 12 Maret 1619, VOC secara
resmi mendirikan benteng yang kemudian diberi nama
Batavia. Kantor dagang VOC yang ada di
Ambon, Maluku dipindahkan ke Batavia setelah Jayakarta menyerah kepada Belanda
pada tanggal 30 Mei 1619. Pada tanggal yang sama J.P. Coen mengubah nama
Jayakarta menjadi Batavia, sehingga hari itu dianggap sebagai hari pendirian
Batavia.
Dalam upaya mempertahankan monopoli
rempah-rempah di Kepulauan Maluku, VOC melakukan dan pelayaran Hongi (Hongi
Tochten). Pelayaran Hongi yaitu pelayaran keliling
menggunakan perahu jenis kora-kora
yang dipersenjatai untuk mengatasi perdagangan gelap atau penyelundupan
rempah-rempah di Maluku.
Perahu Kora Kora Maluku |
Pelayaran ini juga disertai hak
ekstirpasi, yaitu hak untuk membinasakan tanaman rempah-rempah yang
melebihi ketentuan.
Pada tahun 1700-an, VOC berusaha
menguasai daerah-daerah pedalaman yang banyak menghasilkan barang dagangan.
Imperialisme pedalaman ini sasarannya Kerajaan Banten dan Mataram. Alasannya
daerah ini banyak menghasilkan barang-barang komoditas seperti beras, gula
merah, jenis-jenis kacang, dan lada. Oleh karena itu VOC menerapkan berbagai
macam kebijakan.
Kebijakan VOC dan Pengaruhnya bagi
Rakyat Indonesia
Berikut ini kebijakan-kebijakan VOC
yang diterapkan di Indonesia.
a. Menguasai pelabuhan-pelabuhan dan
mendirikan benteng untuk melaksanakan monopoli perdagangan.
b. Melaksanakan politik devide et
impera (memecah dan menguasai) dalam rangka untuk menguasai kerajaan-kerajaan di Indonesia.
c. Untuk memperkuat kedudukannya,
perlu mengangkat seorang Gubernur Jenderal.
d. Melaksanakan sepenuhnya hak
Oktroi yang diberikan pemerintah Belanda.
e. Membangun pangkalan/markas VOC yang
semula di Banten dan Ambon, dipindah ke Jayakarta (Batavia).
f. Melaksanakan pelayaran Hongi (Hongi
tochten).
g. Adanya hak ekstirpasi, yaitu hak
untuk membinasakan tanaman rempah-rempah yang melebihi ketentuan.
h. Adanya verplichte leverantie (penyerahan
wajib) dan Prianger stelsel (sistem Priangan).
Berikut ini pengaruh kebijakan VOC
bagi rakyat Indonesia.
a. Kekuasaan raja menjadi berkurang
atau bahkan didominasi secara keseluruhan oleh
VOC.
b. Wilayah kerajaan terpecah-belah
dengan melahirkan kerajaan dan penguasa baru di bawah kendali VOC.
c. Hak oktroi (istimewa) VOC,
membuat masyarakat Indonesia menjadi miskin, dan menderita.
d. Rakyat Indonesia mengenal ekonomi
uang, mengenal sistem pertahanan benteng, etika perjanjian, dan prajurit bersenjata modern (senjata api,
meriam).
e. Pelayaran Hongi, dapat dikatakan
sebagai suatu perampasan, perampokan, perbudakan, dan pembunuhan.
f. Hak ekstirpasi bagi rakyat
merupakan ancaman matinya suatu harapan atau sumber penghasilan yang bisa berlebih.
Sumber : IPS SMP - Sanusi Fatah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar